Pantaskah Alquran Dipertentangkan dengan Pancasila?
Dari TWK alih status pegawai KPK, populerlah pertanyaan, “Mana yang akan kamu pilih, Alquran atau Pancasila?” Spontan mengundang reaksi, bukan saja da
Dari TWK alih status pegawai KPK, populerlah pertanyaan, “Mana yang akan kamu pilih, Alquran atau Pancasila?” Spontan mengundang reaksi, bukan saja dari umat muslim, namun dari sebagian besar masyarakat Indonesia.
Apa urgensi pertanyaan tersebut bagi pegawai yang sudah mampu menunjukkan integritas dalam memberantas tindak korupsi sebagai cita-cita reformasi? Tak cukupkah bukti sejarah yang menerangkan pengaruh Islam bagi Indonesia sehingga Alquran dan Pancasila harus dipertentangkan untuk menguji wawasan kebangsaan pegawai KPK?
Alquran, yang permulaannya turun di bulan Ramadhan merupakan petunjuk bagi manusia, penjelasan atas petunjuk itu, dan pembeda yang benar (haq) dan yang salah (bathil) untuk menyelamatkan manusia dalam menjalankan misi kemanusiaannya.
Di dalam Alquran memuat petunjuk yang bersifat umum (ijmal) lalu disertakan kemudian uraian dari yang umum tersebut (tafshil) baik berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Alquran adalah juga cahaya yang memberikan penerangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Implementasi Alquran adalah segala sikap, ucapan, dan perbuatan rasulallah dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai hamba, pribadi/individu, suami, pemimpin keluarga, pemimpin bangsa, atau bahkan sebagai seorang sahabat atau teman.
Keluhuran akhlaq Rasulallah Muhammad Saw. mampu meluluhkan kesombongan lawan atau musuhnya sehingga berbalik menjadi sahabat dan/atau pengikutnya yang setia dalam menyebarkan ajaran Alquran (Islam) kepada seluruh manusia, agar manusia memeroleh keselamatan.
Cahaya Alquran memancar ke penjuru dunia melalui para sahabat dan ulama, termasuk ke Indonesia. Di Indonesia (Nusantara), Islam disebarkan oleh para ulama Arab pertama di pulau Sumatera bagian Barat sekitar abad ke-7. Para ulama yang menyebarkan Islam ke Nusantara juga datang dari Gujarat, India serta Cina masing-masing di wilayah Sumatera bagian barat, dan Sumatera bagian selatan (Palembang) pada abad ke-13.
Penyebaran Islam oleh para ulama tersebut dilakukan sembari berdagang dengan sikap yang adi luhung sehingga Islam mudah diterima oleh masyarakat nusantara. Perkembangan Islam di nusantara terjadi sangat cepat, bukan hanya di Pulau Sumatera, tetapi juga di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Dalam masa kolonialisme (penjajahan) Belanda, ulama dan pemimpin Islam lainnya telah dicatat dalam sejarah pergerakan Indonesia melakukan perlawanan terhadap penjajah, baik Portugis, Belanda, dan juga Jepang sebagai bentuk pengamalan atas nilai-nilai Alquran. Kita tentu sangat mengenal nama-nama pahlawan, seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nya Dien, Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan yang lainnya. Banyak juga perlawanan terhadap penjajah Belanda itu dipimpin oleh para raja kerajaan Islam (Sultan), seperti Sultan Agung dari Mataram, Sultan Hasanuddin dari Makasar, Kapitan Patimura (Ahmad Lussy) bangsawan dari Maluku. Perjuangan membela tanah tumpah darah dari bangsa penjajah yang dilakukan oleh para ulama, pemimpin, dan pejuang muslim didasarkan atas rasa cinta tanah air, kesadaran bahwa kemerdekaan adalah hak bagi setiap bangsa, dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Demikian seterusnya, sampai detik-detik jelang kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Ir. Soekarno pun peran para ulama Islam sangat besar.
Terjadilah proses penyusunan dasar negara sebagai bagian dari usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Dalam status masih sebagai jajahan Jepang, dibentuklah Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas membahas dan menyusun dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI diusulkan oleh beberapa tokoh asas-asas negara Indonesia. Untuk melanjutkan tujuan dibentuknya BPUPKI, maka dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang antara lain bertugas meresmikan muqadimah (pembukaan) dan batang tubuh Undang Undang Dasar 1945. Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, satu hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, diresmikanlah Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 oleh PPKI.
Tokoh Islam di dalam anggota PPKI yang antara lain Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, dan KH. Wachid Hasyim, mewakili kelompok Islam memasukkan Cahaya Alquran ke dalam rumusan dasar negara dan undang-undang dasar bukan semata-mata untuk kepentingan umat Islam, tetapi untuk terbentuknya negeri yang baldatun thoyibatun warabbon ghofur, atau negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun. Makna yang dikandung dari kalimat dimaksud adalah negeri yang melimpah kekayaan karena sumber daya alamnya, dan negeri yang baik perilaku bangsanya sehingga mendatangkan ampunan Tuhan Yang Maha Pengampun. Oleh karena itu, masuklah anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"setelah kata Ketuhanan. Tetapi oleh karena ada pernyataan keberatan dari tokoh kebangsaan dari Indonesia bagian timur tentang "7 kata" tersebut, maka dengan lapang dada dan sikap kenegarawanan dari tokoh Islam tersebut, maka sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kerelaan mereka atas perubahan rumusan sila pertama Pancasila didasari kecintaannya terhadap keutuhan negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan, 17 Agustus 1945. Alquran telah menjadi cahaya bagi mereka, dan cahaya itu tetap menjadi cahaya bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Pancasila merupakan ijtihad para tokoh Islam, hasil kesepakatan Kelompok Islam dan Kelompok Kebangsaan.
Berkat perjuangan para tokoh Islam tersebut maka Cahaya Alquran pun terpancarkan dari sila-sila Pancasila. Sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa" memancarkan cahaya tauhid. Pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan alam semesta beserta isinya mengimplikasikan pengakuan kepada para malaikat, kitab suci, para nabi, qada dan qodar, serta hari akhir (hari pembalasan. Sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" memberikan cahaya tata hubungan manusia dengan sesamanya, yang berkaitan dengan syari’ah, dan as siyasah yang didasari adanya sikap saling menghormati. Sila "Persatuan Indonesia" memberikan cahaya ukhuwah insaniyah. Berbedaan suku, bahasa, adat, dan istiadat adalah perangkat untuk kita saling kenal mengenal. Kesatuan tujuan dan sasaran berbangsa dan bernegara menjadi nilai kesamaan yang mengabaikan perbedaan yang sudah menjadi ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cahaya yang demikian, kokohlah ketahanan nasional sehingga tangguh menghadapi musuh, tahan menghadapi lawan. Sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” merupakan cahaya Mudzakarah dan Syura. Syura adalah karakteristik negara Islam. Sebagaimana kita telah pahami Pancasila digali dari proses musyawarah dengan berbagai kalangan untuk mencapai kesepatan, sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal. Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” merupakan cahaya Alquran tentang keadilan. Keadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, keadilan dalam bentuk zakat, infak, dan shadaqah, prinsip-prinsip keseimbangan kehidupan ekonomi, keseimbangan kehidupan pribadi, kelompok, dan sosial, serta keseimbangan pemenuhan kebutuhan dunia dan kehidupan akhir. Jika Allah wahyukan Alquran untuk menjadi cahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu mereka yang peroleh cahaya wahyu berijtihad sehingga ditetapkanlah Pancasila sebagai dasar negara, masihkan Alquran dipertentangkan dengan Pancasila?
Oleh: H. Sobirin HS
Ketua Umum YPI Al Azhar
Sumber : http://bit.ly/MajalahAlAzharEdisi311