Ad Under Header

Tradisi Ramadhan Lanjutkan - Ustadz Menjawab

Pertanyaan, Terkait silaturahim di masa pandemi, yang serba dibatasi, bagaimana dengan pahala nya?

 

Tradisi Ramadhan Lanjutkan - Ustadz Menjawab
Gambar : Pikiran Rakyat

Pertanyaan:

Assalamualaikum, wr. wb.
Maaf izin bertanya Pak Ustadz:

  1. Terkait silaturahim di masa pandemi, yang serba dibatasi, bagaimana dengan pahala nya?
  2. Adakah ciri khusus pada diri seseorang, jika puasanya diterima oleh Allah SWT?

Dan bagaimana cara diri untuk istiqomah beribadah seperti di bulan Ramadhan?
Terima kasih, Wassalamu alaikum.

Ismayani
Guru SDI Al Azhar 2

Jawaban:

Asuhan :
Dr. K.H. Shobahussurur Syamsi, M.A.
Ketua YPI Al Azhar (Bidang Dakwah dan Sosial)

Ibu Ismayani yang terhormat, seperi yang kita ketahui bersama bahwa bulan Ramadhan telah usai. Berbagai aktifitas kesalehan kita kerjakan. Dalam bulan penempaan diri itu, kita telah melakukan puasa sebulan penuh, membaca al-Quran dengan berupaya menghayati dan mengerti maknanya, shalat Tarawih dengan khusyu', membagi rizki bersedekah kepada orang lain, mempererat silaturahim, dan menyayangi sesama. Di bulan Ramadhan itu kita ditempa, dilatih, dididik dan digembleng agar menjadi manusia tangguh dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Tangguh secara ruhani dan jasmani. Tangguh dalam fungsi kita sebagai hamba Allah yang terus mengabdi kepada-Nya. Tangguh pula dalam fungsi kita sebagai khalifah Allah yang terus berusaha mewujudkan kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi umat manusia.

Semestinya, berbagai amal shalih itu tidak berhenti karena berakhirnya Ramadhan. Bagaimana terus istiqamah walaupun Ramadhan sudah usai. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan berpuasa adalah mendapatkan derajat taqwa, seperti yang disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah/2: 183. Derajat taqwa adalah derajat yang tertinggi, kualitas terbaik yang dapat diraih oleh setiap muslim. Derajat itu hanya dapat diraih ketika berbagai amal shalih dilaksanakan secara berkelanjutan, terus menerus, dan konsisten. Dalam bahasa al-Quran mampu berlaku istiqâmah dalam setiap tindakan setelah keimanan yang ditanamkan di dalam jiwa. Istiqamah menumbuhkan ketegaran, keberanian, dan keteguhan. Kepada orang-orang yang selalu istiqamah Allah akan memberikan ketegaran hidup, tiada rasa takut, dan balasan surga. Disebutkan di dalam al-Quran: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita". Q.S. al Ahqâf/46: 13. "Sesungguhnya orangorang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqâmah, maka malaekat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlan kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Q.S. Fushshilat/41: 30. 

Bila pada praktiknya kita telah mampu berpuasa mengendalikan keinginan hawa nafsu mulut dan kemaluan di bulan Ramadhan, maka tentu pengendalian hawa nafsu mulut dan kemaluan itu tidak hanya dibatasi dengan berakhirnya Ramadhan,  tapi seharusnya tetap dilakukan diluar Ramadhan, bahkan yang harus dikendalikan tidak saja nafsu mulut dan kemaluan, tapi seluruh nafsu yang ada dalam diri kita; nafsu tangan untuk mengambil apa saja, nafsu kaki untuk melangkah kemana saja dan menendang apa saja, nafsu mata untuk melihat apa saja, nafsu telinga, hidung, dan semua anggota tubuh. Semuanya itu kita harus mampu untuk mempuasakannya agar nafsu-nafsu tersebut menjadi nafsu yang terkendali, dan tenang yang dalam alQuran disebutkan sebagai al-nafs al-muthmainnah (nafsu yang tenang terkendali). Itulah nafsu pribadi muttaqin karena sukses dalam melaksanakan puasanya; bukan saja puasa Ramadhan tapi juga puasa mengendalikan hawa nafsu sepanjang hidupnya. Nafsu itulah yang akan dimasukkan dalam kelompok hamba Allah yang dimuliakan dengan pahala surga penuh kenikmatan."Wahai nafsu yang tenang terkendali, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh rela dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku". Q.S. alFajr: 27-30). Kita harus mampu, walaupun Ramadhan telah berakhir, untuk selalu, beristiqamah, mengendalikan hawa nafsu.

Puasa Abadi

Betapa puasa itu hendaknya dilaksanakan terus menerus. Tidak dibatasi hanya di bulan Ramadhan. Dalam praktiknya kita disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, seperti sabda Rasulullah saw: ”Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka seolah-olah ia berpuasa selama satu tahun”. (HR. Jama'ah). Luar biasa. Enam hari puasa seperti puasa selama setahun. Sayyid Tsabiq dalam Fiqh al-Sunnah (III: 221) memberikan penjelasan tentang hadis di atas bahwa bila setiap kebaikan bernilai pahala sepuluh kali lipat, seperti yang disinyalir dalam Q. S. al-An’am/6:160: ”Barangsiapa melakukan kebaikan, maka dia akan mendapatkan balasan pahala sepuluh kali lipat amalnya”. Maka enam hari puasa nilai pahalanya sama dengan enam puluh hari puasa. Sementara puasa satu bulan Ramadhan nilai pahalanya sama dengan puasa sepuluh bulan. Jadi, bila puasa satu bulan Ramadhan dan enam hari Syawal pahalanya sama dengan pahala puasa dua belas bulan. Bila puasa Ramadhan dan Syawal kita tradisikan setiap tahun, maka jadilah kita telah melakukan puasa abadi, belum lagi bila ditambah lagi dengan puasapuasa sunnah yang lain di luar bulan Ramadhan.

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, pelaksanaan puasa sunnah Syawwal dapat dilaksanakan enam hari secara terus menerus mulai tanggal dua sampai tujuh Syawal, atau dilaksanakan berselang-seling, yang penting dalam bulan Syawal. Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Syafii berpendapat, lebih utama puasa tersebut dilaksanakan sehari setelah Idul Fitri secara terus menerus selama enam hari. Beberapa hikmah dapat diketahui kenapa setelah kewajiban puasa Ramadhan kita disunnahkan melakukan puasa Syawwal. Antara lain adalah untuk memberikan pengertian dan kesadaran bahwa ibadah, taqarrub kepada Allah SWT, serta melakukan berbagai amal kebajikan, selayaknya tidak hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja. Puasa tidak hanya Ramadhan saja. Begitu pula berbagai amal shaleh yang selama Ramadhan kita lakukan, seperti shalat malam, banyak berzikir, tadarrus al-Quran, belajar ilmu agama Islam, membagi kepada sesama, berbaik hati kepada sanak saudara, kerabat, teman, bahkan kepada yatim, fakir, dan miskin. Semestinya kebaikan itu tidak selesai di bulan Ramadhan, tapi diteruskan di luar Ramadhan juga. Secara kesehatan jasmani, puasa Syawwal membuat badan kita lebih baik karena tidak dikagetkan oleh banyaknya makanan yang masuk perut, dimana pada bulan Ramadhan, perut kita sering kosong. Tapi sayangnya kita sering lupa diri begitu kita tidak lagi berpuasa. Kita memakan apa saja, hingga kekenyangan. Begitu keluar Ramadhan, berarti bebas makan apa saja. Akhirnya, berbagai penyakit datang pada tubuh kita. Akhirnya hilanglah pengaruh latihan amal shaleh yang telah dilakukan selama Ramadhan.

Seperti halnya pesan utama dari puasa Ramadhan itu adalah ajaran berharga agar dapat selalu mengendalikan diri, maka puasa Syawwal mengisyaratkan bahwa mengendalikan diri itu semestinya dilakukan terus menerus tidak hanya di bulan Ramadhan. Pengendalian diri mestinya dilakukan sepanjang hayat, kapan pun dan dimanapun, dalam kehidupan pribadi, keluarga, tetangga, berbangsa dan bernegara. Pengendalian nafsu untuk tetap sabar ketika diguncang berbagai fitnah dan musibah. Pengendalian nafsu untuk tidak rakus dan serakah di saat persaingan hidup terkadang menghapuskan nilai-nilai moral. Pengendalian diri dari sikap ambisius, gila harta, gila jabatan, dan gila kekuasan, sehingga berlaku angkuh, sombong, dan menindas. Mengendalikan diri merupakan sayyid al-akhlak (akhlak utama) yang harus terus menerus menjadi tradisi baik dalam kehidupan kita. 

Silaturrahim Sucikan Jiwa Teguhkan Ukhuwwah

Berbagai kegiatan menyolok setelah lebaran adalah acara silaturrahim. Halal bihalal diadakan dimana-mana, secara pribagi, lembaga keagamaan, instansi swasta maupun pemerintah. Secara bahasa kata-kata halal bihalal terambil dari bahasa Arab yang artinya yang halal dengan yang halal. Halal bihalal hanya ada para budaya masyarakat Indonesia dan tidak ada di dunia Islam lainnya, bahkan tidak ada dalam tradisi di zaman Rasulullah Saw. Namun semangatnya adalah bagaimana membuat kegiatan silaturrahim dalam bentuk massal, praktis, dan dapat menjangkau banyak orang. Dalam satu acara halal bihalal puluhan bahkan ratusan orang dapat bersilaturrahim, sebuah solusi bagi bentuk silaturahim dari rumah ke rumah yang menyita banyak waktu. 

Meskipun sekarang dalam situasi pandemic Covid-19, silaturahim tidak boleh putus. Bertemu sanak keluarga harus terus dijaga. Silaturahim terus berjalan tidak boleh putus. Hanya saja wujud pertemuan bisa saja berbeda. Harus menjaga protocol Kesehatan. Hindari kerumunan dalam jumlah banyak. Halal bi halal dengan melibatkan kerumunan banyak tidak dianjurkan. Dapat dilakukan halal bi halal secara virtual. Pertemuan melalui telepon, chatting di media sosial, atau video call. Kalau harus bertemu, maka selalu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan memastikan badan dalam kondisi sehat. Walaupun silaturahim tidak dapat dilaksanakan secara normal seperti sebelum masa pandemic, insya Allah pahala siapa saja yang melakukan tidak akan berkurang gara-gara dibatasi hanya melalui zoom meeting, umpamanya, atau hanya chatting di Whatsapp. Ketulusan hati kita untuk bersilaturahim, saling memaafkan, itulah yang menentukan pahala yang akan diterima.

Dalam silaturahim terjadi saling mengucapkan salam, maaf memaafkan, tegur sapa yang begitu indah. Sehingga tercipta suasana keakraban dan keharmonisan, hilangkan sekat-sekat primordial, sekat-sekat kepangkatan, dan sekat-sekat material. Semua dalam persaudaraan (ukhuwwah). Semua berupaya mewujudkan firman Allah: ''Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang'' (Q. S. Al-Nur/24: 22). Allah akan memberikan ampunan kepada hamba-Nya bila seorang hamba itu mau memberi maaf dan berlapang dada kepada orang lain. Kerelaan kita untuk memaafkan saudara kita yang pernah berbuat salah kepada kita, membuka peluang bagi terwujudnya ampunan Allah. Allah belum mengampuni dosa-dosa dan kesalahan kita, bila secara hubungan horizontal sesama manusia kita masih menyisakan kebencian dan permusuhan. 

Bila Allah telah mengampuni dosa dan kesalahan kita, saling maaf memaafkan antara kita telah terjadi, maka kita menjadi manusia fitrah (suci) yang telah berhasil mensucikan jiwa dan raga dari kotoran dosa dan noda. Itulah hakekat kemenangan manusia, yaitu mereka yang mampu membebaskan dirinya dari dosa, dan mensucikan jiwa dari noda. ”Sungguh beruntung orang yang mensucikannya (jiwa itu). Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”. (Q.S. al-Syams/91: 9-10). Hari Raya oleh karena disebut sebagai Idul Fitri, kembali kepada kesucian, berharap kiranya menjadi minal a’idin wal faizin, jadilah kita termasuk orang-orang yang kembali (kepada kesucian) dan termasuk orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Mereka itu orang-orang bertakwa yang salah satu cirinya adalah kemauan untuk mensucikan diri, memohon ampun, dan bertobat, sebagaimana disinyalir dalam Q.S. Ai Imran/3:135: ”dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui”.

hilanglah pengaruh latihan amal shaleh yang telah dilakukan selama Ramadhan. Seperti halnya pesan utama dari puasa Ramadhan itu adalah ajaran berharga agar dapat selalu mengendalikan diri, maka puasa Syawwal mengisyaratkan bahwa mengendalikan diri itu semestinya dilakukan terus menerus tidak hanya di bulan Ramadhan. Pengendalian diri mestinya dilakukan sepanjang hayat, kapan pun dan dimanapun, dalam kehidupan pribadi, keluarga, tetangga, berbangsa dan bernegara. Pengendalian nafsu untuk tetap sabar ketika diguncang berbagai fitnah dan musibah. Pengendalian nafsu untuk tidak rakus dan serakah di saat persaingan hidup terkadang menghapuskan nilai-nilai moral. Pengendalian diri dari sikap ambisius, gila harta, gila jabatan, dan gila kekuasan, sehingga berlaku angkuh, sombong, dan menindas. Mengendalikan diri merupakan sayyid al-akhlak (akhlak utama) yang harus terus menerus menjadi tradisi baik dalam kehidupan kita. Silaturrahim Sucikan Jiwa Teguhkan Ukhuwwah Berbagai kegiatan menyolok setelah lebaran adalah acara silaturrahim. Halal bihalal diadakan dimana-mana, secara pribagi, lembaga keagamaan, instansi swasta maupun pemerintah. Secara bahasa kata-kata halal bihalal terambil dari bahasa Arab yang artinya yang halal dengan yang halal. Halal bihalal hanya ada para budaya masyarakat Indonesia dan tidak ada di dunia Islam lainnya, bahkan tidak ada dalam tradisi di zaman Rasulullah Saw. Namun semangatnya adalah bagaimana membuat kegiatan silaturrahim dalam bentuk massal, praktis, dan dapat menjangkau banyak orang. Dalam satu acara halal bihalal puluhan bahkan ratusan orang dapat bersilaturrahim, sebuah solusi bagi bentuk silaturahim dari rumah ke rumah yang menyita banyak waktu.

Meskipun sekarang dalam situasi pandemic Covid-19, silaturahim tidak boleh putus. Bertemu sanak keluarga harus terus dijaga. Silaturahim terus berjalan tidak boleh putus. Hanya saja wujud pertemuan bisa saja berbeda. Harus menjaga protocol Kesehatan. Hindari kerumunan dalam jumlah banyak. Halal bi halal dengan melibatkan kerumunan banyak tidak dianjurkan. Dapat dilakukan halal bi halal secara virtual. Pertemuan melalui telepon, chatting di media sosial, atau video call. Kalau harus bertemu, maka selalu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan memastikan badan dalam kondisi sehat. Walaupun silaturahim tidak dapat dilaksanakan secara normal seperti sebelum masa pandemic, insya Allah pahala siapa saja yang melakukan tidak akan berkurang gara-gara dibatasi hanya melalui zoom meeting, umpamanya, atau hanya chatting di Whatsapp. Ketulusan hati kita untuk bersilaturahim, saling memaafkan, itulah yang menentukan pahala yang akan diterima. Dalam silaturahim terjadi saling mengucapkan salam, maaf memaafkan, tegur sapa yang begitu indah. Sehingga tercipta suasana keakraban dan keharmonisan, hilangkan sekat-sekat primordial, sekat-sekat kepangkatan, dan sekat-sekat material. Semua dalam persaudaraan (ukhuwwah). Semua berupaya mewujudkan firman Allah: ''Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang'' (Q. S. Al-Nur/24: 22). Allah akan memberikan ampunan kepada hamba-Nya bila seorang hamba itu mau memberi maaf dan berlapang dada kepada orang lain. Kerelaan kita untuk memaafkan saudara kita yang pernah berbuat salah kepada kita, membuka peluang bagi terwujudnya ampunan Allah. Allah belum mengampuni dosa-dosa dan kesalahan kita, bila secara hubungan horizontal sesama manusia kita masih menyisakan kebencian dan permusuhan. Bila Allah telah mengampuni dosa dan kesalahan kita, saling maaf memaafkan antara kita telah terjadi, maka kita menjadi manusia fitrah (suci) yang telah berhasil Tradisi Ramadhan Lanjutkan mensucikan jiwa dan raga dari kotoran dosa dan noda. Itulah hakekat kemenangan manusia, yaitu mereka yang mampu membebaskan dirinya dari dosa, dan mensucikan jiwa dari noda. ”Sungguh beruntung orang yang mensucikannya (jiwa itu). Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”. (Q.S. al-Syams/91: 9-10). Hari Raya oleh karena disebut sebagai Idul Fitri, kembali kepada kesucian, berharap kiranya menjadi minal a’idin wal faizin, jadilah kita termasuk orang-orang yang kembali (kepada kesucian) dan termasuk orang-orang yang mendapatkan kemenangan. Mereka itu orang-orang bertakwa yang salah satu cirinya adalah kemauan untuk mensucikan diri, memohon ampun, dan bertobat, sebagaimana disinyalir dalam Q.S. Ai Imran/3: 135: ”dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?. Dan mereka tidak meneruskan

perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui”. Ketaqwaan tidak selesai di bulan Ramadhan. Pencapaian taqwa justru diwujudkan dalam amalan nyata pasca Ramadhan. Wujudnya adanya kesediaan kita untuk beramal shaleh kapan saja dan dalam kondisi suka atau duka (fi al-sarrâ' wa al-dharrâ', Q.S. Ali Imrâ/3: 134). Taqwa justru diwujudkan setelah Ramadhan. Amal shaleh hasil latihan Ramadhan dinilai setelah Ramadhan. Bila lebih baik amalnya setelah Ramadhan, berarti orang itu lulus dalam trainning Ramadhan. Tapi bila setelah Ramadhan amalnya semakin buruk, berarti kegiatan Ramadhan yang dilakukan gagal.

Jangan berhenti beramal karena Ramadhan berakhir. Masih banyak orang miskin yang menengadahkan tangan-tangan. Banyak anak-anak yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Banyak orang sakit yang tidak sanggup berobat. Banyak mereka yang terdampak pandemi covid-19, langsung atau tidak langsung yang membutuhkan bantuan. Banyak lembaga Islam yang memerlukan uluran tangan. Mari beramal jangan berhenti, sampai akhir hanyat nanti ila muntahahu al-jannah (hingga akhirnya mendapatkan surga). Spirit Ramadhan harus terus dikobarkan dan dilestarikan. Berbagai amal shalih di bulan Ramadhan harus terus diamalkan. Kesalehan pribadi dan sosial harus diwujudkan dalam kehidupan nyata sepanjang hayat.


Tertarik bertanya, atau anda memiliki pertanyaan seputar agama?
silahkan kirimkan pertanyaan anda ke email : majalah[et]al-azhar.or.id ([et] ganti dengan @)


Sumber : Majalah Al Azhar Edisi 311


Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.